Barangkali jika aku bertanya, adakah orang yang tidak mendambakan kebahagiaan dalam sebuah pernikahan? Kurasa hanya gelengan kepala yang kan kutemui.
Suatu kali, seseorang bercerita panjang lebar kepadaku
tentang rencana pernikahannya. Tentu saja ini menjadi topik yang selalu dekat
dengan orang-orang seusiaku. Sebagian menganggap topik serupa ibarat bunga
mekar. Indah. Namun, ada pula yang melihatnya bagaikan gulma. Mengganggu. Maka,
mereka ini akan paling gusar bahkan sebal kalau ditanya: “Kapan nikah?” Pernah
merasakan juga, tidak?
Kembali ke cerita seorang kawan tadi ya. Sebenarnya kami
tidak terlalu sering berbicara lewat telepon seperti sore itu. Biasanya cukup
kok walau hanya chatting-an lewat bbm atau whatsapp saja. Tapi hari itu, kurasa sudah sangat menumpuk kata
yang ingin dia bagi, makanya tak pilih memainkan ibu jari di smartphone-nya. Kami pun berbicara
sangat lama waktu itu.
“Apakah karena mengejar kebahagiaan?” Aku langsung memburunya
dengan pertanyaan itu di sela-sela ceritanya dan dia beri jawaban “iya” padaku.
Tidak tegas, tapi tanpa bantahan. Selanjutnya, kubilang padanya bahwa tujuan
pernikahan tidak sedangkal itu.
“Kalau itu tujuanmu, kau cuma akan mendapati kekecewaan nantinya,”
kataku menambahkan.
Sejak sebelum menikah, seringkali diberitahukan dan diajarkan
kepadaku, bahwa menikah bukan lantaran mengejar kebahagiaan semata. Aku
menerimanya dan setelah melangkah ke dalam bahtera pernikahan itu, akhirnya aku
melihat dan mengalami sendiri, sehingga kian paham.
Memangnya siapa yang sanggup tidak gemetar dan tertawa
bahagia ketika di depan sana nyata ada amuk ombak sedemikan beringas? Siapa
yang kegirangan ketika ada angin badai datang menampar bertubi-tubi?
Pelayaran itu sungguh penuh ketidakpastian. Namun, kabar
baiknya adalah, kita punya Nakhoda yang andal, di mana Dia kenal persis apa
yang sedang dan bakal dihadapi-Nya sepanjang pelayaran. Pun tahu pasti, ke mana
hendak menuju.
Bertemu Konflik itu Pasti
Sepuluh bulan usia pernikahan kami, bohong kalau kubilang
tanpa masalah sama sekali dan selalu bahagia sepanjang waktu. Betul, ada
kalanya bahagia itu terusir. Emosi negatif, seperti kecewa, marah, sedih, putus
asa, ragu, bingung, kalut, takut, kalah, sepi, minder, sombong, atau iri suka datang
bergantian tanpa kenal lelah demi menggeser posisi bahagia yang semula melekati
kami dengan akrab. Sebenarnya sangat mudah membiarkan segala emosi negatif itu
bergelayut manja dan bersuka-ria hore-hore di antara kami. Hanya saja, resikonya
adalah cinta akan pergi dan benci datang segera. Tidak bisa kubayangkan,
pelayaran macam apa yang akan kami arungi.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Katherine Anne Porter dan
dituliskan Gary Thomas dalam bukunya berjudul “Sacred Marriage”, yaitu: “Cinta
harus dipelajari, dan dipelajari lagi, dan terus dipelajari; tidak ada
habisnya. Kebencian tidak perlu diajarkan, ia akan muncul sendiri begitu ada
pemicunya.” Gary Thomas menambahkan bahwa pernikahan menciptakan di mana cinta
mengalami ujian terberat dan ujian itu adalah bahwa cinta harus diusahakan.
Kita menunjukkan kasih kita kepada Tuhan, antara lain dengan sungguh-sungguh
mengasihi pasangan kita.
Aku tiba-tiba teringat, pernah suatu kali, aku bersama tiga
orang teman lainnya sedang ngobrol santai sambil makan malam usai jam kantor.
Seorang teman bercerita, ada kenalannya baru menikah, ribut hanya lantaran
gunting-menggunting kuku. “Yang satu sukanya kuku digunting, sedangkan satunya
lagi nggak mau,” katanya dan spontan disambut ledakan tawa kami, sedikit tak
percaya. Kok bisa-bisanya hal kecil begitu jadi masalah?
Memang kedengaran sepele sih, tapi justru yang seringkali
jadi pemicu konflik ya persoalan macam ini, tentu kalau tidak dibicarakan
secara terang dan tenang. Ada teman yang bercerita tentang bagaimana ia dan
istrinya berdebat perkara handuk yang diletak di mana. Ada pula yang
mempersoalkan tentang kerapian rumah. Perihal masak dan tidak masak sayur pun
ada.
Aku pernah agak kesal pada suamiku lantaran tak memahami kata “semalam”
yang kugunakan artinya adalah “kemarin”. Dia ngotot kalau untuk mengatakan
“satu hari yang lalu”, maka kata yang dipakai ialah “kemarin”. Dia benar, tapi
aku yang selama ini tinggal di Sumatera Utara, terbiasa mengatakan “satu hari
yang lalu” dengan kata “semalam.” Suamiku yang lahir dan besar di Depok sana, kebingungan
tiap kali aku bilang “semalam”, dia pikir yang kumaksud spesifik “tadi malam”.
Hal kecil kan? Tapi kalau tidak kami bereskan segera dengan pikiran yang terang
dan hati yang tenang, maka konflik tersebut akan berubah menjadi pertengkaran
yang… ah sudahlah.
Tetap bertahan dalam bahtera yang sudah dimasuki meski
bertemu konflik entah kecil seperti cerita di atas atau bahkan yang lebih besar,
lantas tetap mau setia dalam pelayaran yang ditempuh, menikmati proses
sepanjang menuju tempat yang dituju, mengerjakan peran sebagai suami atau istri
tanpa mengeluh, melayani pasangan dengan suka hati, dan sepenuh hati bersyukur
kepada Sang Khalik, tak lain adalah karena kita sudah mengalami sendiri kasih-Nya yang
tanpa syarat itu. Tidak mudah memang, karena kesejatian roh itu penurut, tetapi
daging lemah. Di sanalah kita perlu sepenuhnya bergantung pada Allah yang kepada-Nya
kita sudah menyerahkan pena cinta kita dan memercayakan alur dan kisahnya
pada-Nya.
Julianto Simanjuntak dan istrinya mencatatkan dalam bukunya Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan sebuah
tulisan dari dalam buku berjudul Marriage
in Honor karya W.G. de Vries: banyak orang berpikir bahwa menikah itu
satu-satunya jalan untuk menikmati kebahagiaan. Ini adalah suatu mitos. Lebih
lanjut, ia mengatakan kalau banyak orang tidak menyadari bahwa pengertian cinta
yang mereka miliki itu sebenarnya telah terkontaminasi oleh keinginan pribadi
yang dipolusi oleh media, misalnya TV dan novel. Kita berpikir, kalau menikah , maka akan ada orang
yang melayani dan menutupi kekurangan kita. Sebagian kaum pria tanpa sadar
lebih didorong oleh gairah seksual semata.
Kalau mengimpikan pasangan yang bakal mengerti perasaan kita
setiap waktu, mau sering-sering membelikan hadiah, menuruti segala kemauan hati
kita, punya waktu bersama sepanjang hari, selalu melayani semua kebutuhan kita
dengan sempurna, tidak pernah marah, pandai merayu, rapi, disiplin, suka
menabung, selalu tampil cantik atau tampan, wangi semerbak tubuhnya setiap
waktu, tegar sepanjang masa, selalu mengambilkan pakaian kita, tidak pernah
lupa apapun, selalu romantis, dan la la la sebagainya seperti dalam dunia
dongeng, maka bersiaplah merana di sudut kamarmu dan ambil sekotak tisu ya.
Seperti cuaca yang selalu berubah, pernikahan pun tidak
melulu bertabur kebahagiaan. Meski panas terasa menyengat, tapi adalah baik
ketika matahari bersinar. Bayangkan mendung sepanjang waktu! Bahkan kain di
jemuran pun akan sulit kering kan? Sekalipun hujan terkadang menyusahkan gerak
kita, tapi seringkali inspirasi datang justru saat hujan turun. Begitupun dalam
pernikahan. Terkadang bahagia itu melipir digantikan amarah, tapi di sana kita
belajar tentang pengampunan dan semakin menyadari betapa besar pengorbanan
Yesus di kayu salib bagi kita. Terkadang sedih menggelembung mengimpit bahagia,
tapi di sana kita belajar bahwa sukacita sejati selalu dapat ditemukan di dalam
Allah. Kebahagiaan itu sungguh nyata bila kita melihatnya dari perspektif
kekekalan, namun akan semu jika memandangnya secara duniawi.
Jadi, jangan takut menikah ya.
Dalam perjalanannya, konflik
jelas ada. Kan, kita dan pasangan berasal dari pohon keluarga berbeda yang
lantas membentuk karakter kita saat ini. Jadi akan sangat wajar kalau dalam
hal-hal tertentu kita tak sepaham dengan pasangan.
Kita perlu menyadari bahwa konflik tidaklah perlu dihindari, tapi
dihadapi. Karakter kita sedang dibentuk melalui konflik tersebut bila mau berbesar
hati mengakui kesalahan dan minta maaf, serta mau juga memaafkan dengan tulus. Dari
sana, kita pun akan semakin mengenal pasangan kita, dan yang lebih penting lagi
adalah: pengenalan kita akan Allah kian bertumbuh. Malahan pernikahan tanpa
konfliklah yang patut dipertanyakan. Kok bisa dua orang yang berbeda tak penah
beda pendapat? (Oh ya, konflik bukan berarti berkelahi jago-jagoan ya. Hehehe)
“Bagaimana jika Tuhan tidak merancang pernikahan sebagai perjalanan yang “lebih mudah”? Bagaimana jika Tuhan memiliki tujuan akhir yang melampaui kesenangan, kenyamanan, dan hasrat kita untuk hidup bahagia, seperti ketika dunia ini belum jatuh dalam dosa? Bagaimana jika Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada menyenangkan kita?” -Gary Thomas-
No comments:
Post a Comment