Thursday 11 February 2016

MERENGKUH ASA DI NEGERI INDAH KEPINGAN SURGA



Tersiar hingga ke telingaku tentang keindahan alam di sana, bahkan dunia pun sudah merekam pesonanya. Sebuah pulau di dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Sungguh menawan! Ialah Pulau Samosir, Negeri Indah Kepingan Surga. 


Tele, Samosir (Foto: David Siahaan)
Meski masih berada dalam satu provinsi dengan tempat tinggalku, sama sekali tak menyurutkan inginku untuk mengunjungi Pulau Samosir. Sudah kubayangkan, betapa mataku akan benar-benar dimanjakan dengan keelokan Danau Toba yang tersohor itu. Sebuah danau vulkanik berukuran panjang 100 km dan lebar 30 km yang terbentuk sekitar 70-an ribu tahun lalu akibat letusan hebat sebuah gunung berapi. Kabarnya, letusan dahsyat itu bahkan nyaris memunahkan spesies manusia di muka bumi ini. Aku pun teringat, seorang WNI asal Jerman bernama Annette Horschmann Siallagan tempo hari berbagi kisah, katanya, selain berita permai alam Samosir, cerita tentang letusan Danau Toba itulah yang membawanya berpelesir hingga menetap di Samosir sampai sekarang.

Tidak sendirian, aku bersama beberapa orang teman pun berangkat dari Kota Medan menuju Samosir. Aku ingat betul, hatiku tengah merindu kala itu. Seolah waktu bergerak amat lamban. Pikirku, bagaimana jika hati ini berderak pelan-pelan lalu mati asa? Rasanya sudah terlalu lama ia menahan rindu kepada dia di sana. Namun tak bisa diucap, kecuali dirasa. 

Menuju Pulau Samosir, Anda bebas memilih menyeberang dengan feri dari Parapat atau menempuh jalan darat saja dari Tele. Barangkali Anda tertarik menikmati pesona alam dan bentangan luas Danau Toba dari puncak Menara Tele, sebuah menara pandang yang terdiri dari empat lantai. Sayang benar, menara ini lumayan tak terawat. Banyak coretan di setiap sisi dindingnya, membuat agak risih dipandang mata. Kalau saja pihak yang bertanggung jawab mengelola tempat ini lebih berbenah dan mengerti betul seluk-beluk pariwisata, tentulah Menara Tele ini bisa hadir dengan balutan lebih menarik. Apalagi kepada setiap pengunjung juga dikenakan retribusi sebesar Rp 2.000.

Melewati Tele, perlu beberapa jam lagi hingga tiba di Pulau Samosir. Sepanjang perjalanan tak sedikitpun kurasa jemu, sebab alam menawarkan segala yang ia miliki untuk kunikmati tanpa pelit. Dengan jendela mobil yang membuka, silir angin membelai rambutku dan hawa segar menyentuh hidungku. Belukar hijau menghiasi sisi jalanan dengan anggun, benar-benar menjamu mataku. Pesona yang takkan kutemukan di kotaku. 

Semakin dekat dengan tempat yang kami tuju, hamparan danau pun mulai mengintip. Dari kejauhan, kulihat riak airnya seolah memanggilku dan kubalas dengan senyuman. Takjub dengan karya Sang Pencipta. Pikirku, betapa romantisnya Dia, menjadikan segalanya indah begini, hingga benar-benar membuatku terpukau.

AMBARITA MENYIMPAN KISAH KANIBALISME

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Sungguh ngeri bila membayangkan manusia memakan manusia. Praktek ini dikenal dengan istilah kanibalisme. Ambarita, sebuah perkampungan di Kecamatan Simanindo, Samosir ialah yang mewarisi kisah leluhur ini.

Hari kedua di Samosir, aku dan teman-teman bersiap berkeliling tempat-tempat wisata di kitaran pulau itu. Huta Siallagan yang terletak di Desa Ambarita, Kec. Simanindo pun menjadi salah satu tujuan kami. Seorang pemuda bernama Christian Pardamean Siallagan bertindak sebagai guide di sana pada hari itu. Kepada para pengunjung yang hadir, ia mengisahkan tentang sebuah ritual yang konon mewarnai Huta Siallagan. Alkisah, kawasan tersebut ialah istana Raja Siallagan. 

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Pada sisi kiri tempat itu, terdapat jejeran replika Rumah Bolon, yakni rumah adat Batak. Katanya, si jago merah pernah datang tanpa diundang pada 1940 lalu, melalap empuk barisan Rumah Bolon yang ada di Huta Siallagan sehingga terpaksa didirikan bangunan serupa sebagai penggantinya. 

Mataku menjelajahi setiap sisi tempat itu dan dekat sebuah pohon besar, aku menengok Hursi Batu Parsidangan, yakni kursi-kursi yang mengitari sebuah meja. Seluruhnya dipahat dari batu dan masih tampak kokoh betul. 

Hursi Batu Parsidangan-Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Ratusan tahun lalu, tempat itu dijadikan sebagai ruang untuk berdiskusi sekaligus sebagai tempat penjatuhan hukuman. Akrab disebut dengan pengadilan orang Batak. Hukuman yang dijatuhi kepada para pelaku kejahatan juga berbeda-beda. Seorang pencuri ayam, misalnya, jika ia memalingi satu ayam, maka ia harus membayar empat kali lipat sebagai akibat tindakannya, satu ekor diberikan kepada korban dan tiga lagi mesti diserahkan kepada raja.

Ada tiga kesalahan yang dianggap sangat fatal dan tiada ampun ketika itu, yakni pembunuhan, menjadi mata-mata musuh, dan pemerkosaan. Mereka harus siap mati dipancung. Ya, hukuman itu akan bersegera menghampiri si pembuat kejahatan tersebut tanpa kenal kompromi. Di Hursi Batu Parsidangan itulah segalanya didiskusikan dan diputuskan. Selanjutnya, eksekusi hukuman pancung dilakukan di batu persidangan yang satunya lagi, kira-kira berjarak 20 m dari tempat pertama itu.

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Seorang dukun, dialah yang akan menentukan hari baik untuk pemancungan pelaku kejahatan. Menunggu tiba harinya, pelaku tersebut dikurung di tempat pemasungan, tepat di bawah rumah Raja Siallagan.
Pada saat hari pemancungan, penjahat tersebut tidak akan langsung ditebas lehernya, tetapi disiksa lagi lebih dulu. Barulah seterusnya, seorang algojo akan bersiap mengambil posisi dan gerak untuk memenggal kepala penjahat tersebut. Tak boleh meleset, atau ia akan jadi sasaran maut berikutnya. Ya, begitulah hukum yang berlaku di Huta Siallagan pada waktu itu. Jika algojo gagal membuat leher penjahat tersebut lepas dalam sekali tebas, maka ia akan dijatuhi hukuman mati. 

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Setelah dipastikan bahwa si pelaku kejahatan tersebut sudah mati, maka jantung dan hatinya diambil untuk dimakan. Ada kepercayaan para leluhur terdahulu, bahwa ritual tersebut dapat meningkatkan ilmu sihir.
Aku bergidik mendengarnya. Ngeri betul. Syukurlah, praktek yang sempat berlangsung hingga ratusan tahun tersebut sudah berlalu dari Kampung Ambarita sejak abad ke-19 lalu, tepat ketika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen berhasil menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak.

Selain menarik mendengar kisah kanibalisme yang pernah terjadi di Huta Siallagan, kunjunganku ke sana pada hari itu kian terasa komplit karena sebuah hiburan juga disuguhkan kepada kami. Para pengunjung diajak untuk manortor atau menari bersama dengan patung Sigale-gale. Langsung kubuang jauh-jauh rasa sungkan dan malu-maluku pada hari itu dan ikut membaur bersama pengunjung lainnya, tak hanya dengan wisatawan lokal, tetapi juga dengan para wisatawan asing. Tak perlu merogoh kocek, hanya harus mengenakan sortali sebagai ikat kepala dan ulos yang sudah disediakan pihak pengelola.

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

Puas betul rasanya hari itu. Usai mendengar kisah sejarah yang sedikit kaku, lalu tubuh diajak melenggok dengan iringan musik Batak, bersama patung Sigale-gale pula! 

Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan)

PANTAI PUNYA PESONA

Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan)

Aku selalu suka dengan pantai, meski aku belum tahu rahasia menyelaminya. Berenang memang aku tak bisa, tetapi entah bagaimana, pantai selalu membuatku terpana. Pesonanya amat dalam. 

Pagi itu, aku melangkah keluar kamar hotel kami menginap, menengok indahnya danau maha luas yang terbentang di depan sana. Airnya hijau dengan riak-riak teratur. Lagi-lagi aku kagum dengan mahakarya Sang Pencipta. 

Usai sarapan, masih bersama teman-temanku, kami menuju Pangururan sebab di sana ada beberapa pantai dan tepat rasanya untuk melampiaskan hasrat ingin bersentuhan dengan bentangan air maha luas itu. Pantai Indah Situngkir ialah salah satunya. Ketika kami berkunjung ke sana, dikenakan retribusi sebesar Rp 2.000.
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan)


Seperti bertemu kekasih yang sudah lama tak jumpa, aku berlari menuju tepian pantai tersebut. Sempat aku agak ragu untuk menceburkan diri ke dalamnya, tetapi tak kuasa menahan langkah. Airnya terasa segar betul ketika membasahi tubuhku. Puas bermain-main air sekitar 20 menit, aku kembali ke tepian, duduk di hamparan pasir di situ, membiarkan matahari melampiaskan kilaunya ke arahku. Sebenarnya di Pantai Indah Situngkir juga disediakan sepeda air dan banana boat, tetapi aku sedang tak tertarik mencobanya pada hari itu.
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan)
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan)
Kenyang dengan keindahan pantai itu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Samosir. Berikutnya ialah ke sebuah danau di atas danau, Sidihoni. Warisan bumi ini terletak di atas endapan danau yang terbentuk pada saat pengangkatan Pulau Samosir yang membentuk sistem cekungan akibat patahan lokal hasil kegiatan tektonik pada waktu lampau. Dekat dengan danau ini terdapat sebuah bukit, di mana di puncaknya dibangun sebuah gereja. Di sanalah salah satu scene film remake Bulan di Atas Kuburan diambil. Dari puncak situ, sungguh apik duduk sambil menatap ke arah Sidihoni yang tak jauh di bawahnya.
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan)
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan)
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan)
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan)

Setelah mengabadikan momen dalam sebuah mata kamera, kami segera beranjak tak mau ketinggalan menengok senja di pinggiran pantai. Jika tadi sudah singgah ke Pantai Indah Situngkir, berikutnya kami menuju sebuah pantai lainnya, masih di kitaran Pangururan, bernama Batu Hoda. Konon, di sana terdapat sebuah batu berbentuk kuda. Adalah seorang raja pada masa itu, yang bisa menunggang kuda batu itu. Sebuah legenda.
Batu Hoda, Samosir (Foto: David Siahaan)

Hampir pukul lima sore. Aku memilih duduk di jejeran bebatuan besar yang ada di tepi pantai sembari menikmati datangnya senja dan kubiarkan tapak kakiku menyentuh dinginnya air. Kian sore, kian ramai bangau beterbangan di atas pantai, sangat lihai mengepakkan sayapnya. Kuamat-amati, rupanya mereka serempak datang dari Pulau Tao, yang terletak di sisi kanan Batu Hoda.

Batu Hoda, Samosir (Foto: David Siahaan)

Aku lalu berdiri di batu tempat dudukanku tadi sambil menyaksikan mega kemerahan di ufuk Barat. Suara ombak pun turut pula menemaniku, nyaring kudengar. Angin pantai meniup rambutku, hendak menyatakan hadirnya di sana. Keindahan yang tiada tara amat dalam kurasakan. Pantas saja jika Samosir disebut Negeri Indah Kepingan Surga.

Aku yang kemarin takut mati asa karena menahan rindu yang tak bisa diungkap, hari itu ketika melihat pesona kepingan surga dari tepian Batu Hoda, sebuah pantai di Samosir, hati ini kembali menemukan asanya. Semesta membisikiku sebuah pesan. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya,” katanya lembut. “Ya, termasuk untuk mengungkap rindu,” sahutku dalam batin dibarengi senyum, kemudian aku merengkuh asa.



 ------------------------------------------
p.s. tulisan ini sudah di-publish di KOVER Magazine eds. 74