Tersiar hingga ke telingaku tentang keindahan alam di sana, bahkan dunia pun sudah merekam pesonanya. Sebuah pulau di dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Sungguh menawan! Ialah Pulau Samosir, Negeri Indah Kepingan Surga.
Tele, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Meski masih berada
dalam satu provinsi dengan tempat tinggalku, sama sekali tak menyurutkan
inginku untuk mengunjungi Pulau Samosir. Sudah kubayangkan, betapa mataku akan
benar-benar dimanjakan dengan keelokan Danau Toba yang tersohor itu. Sebuah danau
vulkanik berukuran panjang 100 km dan lebar 30 km yang terbentuk sekitar 70-an
ribu tahun lalu akibat letusan hebat sebuah gunung berapi. Kabarnya, letusan
dahsyat itu bahkan nyaris memunahkan spesies manusia di muka bumi ini. Aku pun teringat,
seorang WNI asal Jerman bernama Annette Horschmann Siallagan tempo hari berbagi
kisah, katanya, selain berita permai alam Samosir, cerita tentang letusan Danau
Toba itulah yang membawanya berpelesir hingga menetap di Samosir sampai
sekarang.
Tidak sendirian,
aku bersama beberapa orang teman pun berangkat dari Kota Medan menuju Samosir.
Aku ingat betul, hatiku tengah merindu kala itu. Seolah waktu bergerak amat
lamban. Pikirku, bagaimana jika hati ini berderak pelan-pelan lalu mati asa?
Rasanya sudah terlalu lama ia menahan rindu kepada dia di sana. Namun tak bisa
diucap, kecuali dirasa.
Menuju Pulau
Samosir, Anda bebas memilih menyeberang dengan feri dari Parapat atau menempuh
jalan darat saja dari Tele. Barangkali Anda tertarik menikmati pesona alam dan
bentangan luas Danau Toba dari puncak Menara Tele, sebuah menara pandang yang
terdiri dari empat lantai. Sayang benar, menara ini lumayan tak terawat. Banyak
coretan di setiap sisi dindingnya, membuat agak risih dipandang mata. Kalau
saja pihak yang bertanggung jawab mengelola tempat ini lebih berbenah dan mengerti
betul seluk-beluk pariwisata, tentulah Menara Tele ini bisa hadir dengan
balutan lebih menarik. Apalagi kepada setiap pengunjung juga dikenakan
retribusi sebesar Rp 2.000.
Melewati Tele, perlu
beberapa jam lagi hingga tiba di Pulau Samosir. Sepanjang perjalanan tak
sedikitpun kurasa jemu, sebab alam menawarkan segala yang ia miliki untuk
kunikmati tanpa pelit. Dengan jendela mobil yang membuka, silir angin membelai
rambutku dan hawa segar menyentuh hidungku. Belukar hijau menghiasi sisi
jalanan dengan anggun, benar-benar menjamu mataku. Pesona yang takkan kutemukan
di kotaku.
Semakin dekat
dengan tempat yang kami tuju, hamparan danau pun mulai mengintip. Dari
kejauhan, kulihat riak airnya seolah memanggilku dan kubalas dengan senyuman.
Takjub dengan karya Sang Pencipta. Pikirku, betapa romantisnya Dia, menjadikan
segalanya indah begini, hingga benar-benar membuatku terpukau.
AMBARITA MENYIMPAN KISAH KANIBALISME
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Sungguh ngeri bila
membayangkan manusia memakan manusia. Praktek ini dikenal dengan istilah kanibalisme.
Ambarita, sebuah perkampungan di Kecamatan Simanindo, Samosir ialah yang
mewarisi kisah leluhur ini.
Hari kedua di
Samosir, aku dan teman-teman bersiap berkeliling tempat-tempat wisata di
kitaran pulau itu. Huta Siallagan yang terletak di Desa Ambarita, Kec.
Simanindo pun menjadi salah satu tujuan kami. Seorang pemuda bernama Christian
Pardamean Siallagan bertindak sebagai guide
di sana pada hari itu. Kepada para pengunjung yang hadir, ia mengisahkan
tentang sebuah ritual yang konon mewarnai Huta Siallagan. Alkisah, kawasan
tersebut ialah istana Raja Siallagan.
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Pada sisi kiri tempat
itu, terdapat jejeran replika Rumah Bolon, yakni rumah adat Batak. Katanya, si jago
merah pernah datang tanpa diundang pada 1940 lalu, melalap empuk barisan Rumah
Bolon yang ada di Huta Siallagan sehingga terpaksa didirikan bangunan serupa
sebagai penggantinya.
Mataku
menjelajahi setiap sisi tempat itu dan dekat sebuah pohon besar, aku menengok
Hursi Batu Parsidangan, yakni kursi-kursi yang mengitari sebuah meja.
Seluruhnya dipahat dari batu dan masih tampak kokoh betul.
Hursi Batu Parsidangan-Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Ratusan tahun
lalu, tempat itu dijadikan sebagai ruang untuk berdiskusi sekaligus sebagai
tempat penjatuhan hukuman. Akrab disebut dengan pengadilan orang Batak. Hukuman
yang dijatuhi kepada para pelaku kejahatan juga berbeda-beda. Seorang pencuri
ayam, misalnya, jika ia memalingi satu ayam, maka ia harus membayar empat kali
lipat sebagai akibat tindakannya, satu ekor diberikan kepada korban dan tiga
lagi mesti diserahkan kepada raja.
Ada tiga
kesalahan yang dianggap sangat fatal dan tiada ampun ketika itu, yakni
pembunuhan, menjadi mata-mata musuh, dan pemerkosaan. Mereka harus siap mati
dipancung. Ya, hukuman itu akan bersegera menghampiri si pembuat kejahatan
tersebut tanpa kenal kompromi. Di Hursi Batu Parsidangan itulah segalanya
didiskusikan dan diputuskan. Selanjutnya, eksekusi hukuman pancung dilakukan di
batu persidangan yang satunya lagi, kira-kira berjarak 20 m dari tempat pertama
itu.
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Seorang dukun,
dialah yang akan menentukan hari baik untuk pemancungan pelaku kejahatan.
Menunggu tiba harinya, pelaku tersebut dikurung di tempat pemasungan, tepat di
bawah rumah Raja Siallagan.
Pada saat hari
pemancungan, penjahat tersebut tidak akan langsung ditebas lehernya, tetapi disiksa
lagi lebih dulu. Barulah seterusnya, seorang algojo akan bersiap mengambil
posisi dan gerak untuk memenggal kepala penjahat tersebut. Tak boleh meleset,
atau ia akan jadi sasaran maut berikutnya. Ya, begitulah hukum yang berlaku di
Huta Siallagan pada waktu itu. Jika algojo gagal membuat leher penjahat
tersebut lepas dalam sekali tebas, maka ia akan dijatuhi hukuman mati.
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Setelah
dipastikan bahwa si pelaku kejahatan tersebut sudah mati, maka jantung dan
hatinya diambil untuk dimakan. Ada kepercayaan para leluhur terdahulu, bahwa ritual
tersebut dapat meningkatkan ilmu sihir.
Aku bergidik
mendengarnya. Ngeri betul. Syukurlah, praktek yang sempat berlangsung hingga
ratusan tahun tersebut sudah berlalu dari Kampung Ambarita sejak abad ke-19
lalu, tepat ketika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen berhasil menyebarkan agama
Kristen di Tanah Batak.
Selain menarik
mendengar kisah kanibalisme yang pernah terjadi di Huta Siallagan, kunjunganku
ke sana pada hari itu kian terasa komplit karena sebuah hiburan juga disuguhkan
kepada kami. Para pengunjung diajak untuk manortor atau menari bersama dengan
patung Sigale-gale. Langsung kubuang jauh-jauh rasa sungkan dan malu-maluku
pada hari itu dan ikut membaur bersama pengunjung lainnya, tak hanya dengan
wisatawan lokal, tetapi juga dengan para wisatawan asing. Tak perlu merogoh
kocek, hanya harus mengenakan sortali sebagai ikat kepala dan ulos yang sudah
disediakan pihak pengelola.
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
Puas betul
rasanya hari itu. Usai mendengar kisah sejarah yang sedikit kaku, lalu tubuh
diajak melenggok dengan iringan musik Batak, bersama patung Sigale-gale pula!
Huta Siallagan, Ambarita (Foto: David Siahaan) |
PANTAI PUNYA PESONA
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Aku selalu suka
dengan pantai, meski aku belum tahu rahasia menyelaminya. Berenang memang aku
tak bisa, tetapi entah bagaimana, pantai selalu membuatku terpana. Pesonanya amat
dalam.
Pagi itu, aku
melangkah keluar kamar hotel kami menginap, menengok indahnya danau maha luas
yang terbentang di depan sana. Airnya hijau dengan riak-riak teratur. Lagi-lagi
aku kagum dengan mahakarya Sang Pencipta.
Usai sarapan,
masih bersama teman-temanku, kami menuju Pangururan sebab di sana ada beberapa
pantai dan tepat rasanya untuk melampiaskan hasrat ingin bersentuhan dengan bentangan air maha luas itu. Pantai Indah Situngkir ialah salah satunya. Ketika kami berkunjung
ke sana, dikenakan retribusi sebesar Rp 2.000.
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Seperti bertemu
kekasih yang sudah lama tak jumpa, aku berlari menuju tepian pantai tersebut.
Sempat aku agak ragu untuk menceburkan diri ke dalamnya, tetapi tak kuasa
menahan langkah. Airnya terasa segar betul ketika membasahi tubuhku. Puas
bermain-main air sekitar 20 menit, aku kembali ke tepian, duduk di hamparan
pasir di situ, membiarkan matahari melampiaskan kilaunya ke arahku. Sebenarnya
di Pantai Indah Situngkir juga disediakan sepeda air dan banana boat, tetapi aku sedang tak tertarik mencobanya pada hari
itu.
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Pantai Indah Situngkir, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Kenyang dengan
keindahan pantai itu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Samosir. Berikutnya
ialah ke sebuah danau di atas danau, Sidihoni. Warisan bumi ini terletak di
atas endapan danau yang terbentuk pada saat pengangkatan Pulau Samosir yang
membentuk sistem cekungan akibat patahan lokal hasil kegiatan tektonik pada
waktu lampau. Dekat dengan danau ini terdapat sebuah bukit, di mana di
puncaknya dibangun sebuah gereja. Di sanalah salah satu scene film remake Bulan di Atas Kuburan diambil. Dari
puncak situ, sungguh apik duduk sambil menatap ke arah Sidihoni yang tak jauh
di bawahnya.
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Sidihoni, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Setelah
mengabadikan momen dalam sebuah mata kamera, kami segera beranjak tak mau
ketinggalan menengok senja di pinggiran pantai. Jika tadi sudah singgah ke
Pantai Indah Situngkir, berikutnya kami menuju sebuah pantai lainnya, masih di
kitaran Pangururan, bernama Batu Hoda. Konon,
di sana terdapat sebuah batu berbentuk kuda. Adalah seorang raja pada masa itu,
yang bisa menunggang kuda batu itu. Sebuah legenda.
Batu Hoda, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Hampir pukul
lima sore. Aku memilih duduk di jejeran bebatuan besar yang ada di tepi pantai
sembari menikmati datangnya senja dan kubiarkan tapak kakiku menyentuh
dinginnya air. Kian sore, kian ramai bangau beterbangan di atas pantai, sangat
lihai mengepakkan sayapnya. Kuamat-amati, rupanya mereka serempak datang dari
Pulau Tao, yang terletak di sisi kanan Batu Hoda.
Batu Hoda, Samosir (Foto: David Siahaan) |
Aku lalu berdiri
di batu tempat dudukanku tadi sambil menyaksikan mega kemerahan di ufuk Barat.
Suara ombak pun turut pula menemaniku, nyaring kudengar. Angin pantai meniup
rambutku, hendak menyatakan hadirnya di sana. Keindahan yang tiada tara amat
dalam kurasakan. Pantas saja jika Samosir disebut Negeri Indah Kepingan Surga.
Aku yang kemarin takut mati asa karena menahan rindu yang tak bisa diungkap, hari itu ketika melihat pesona kepingan surga dari tepian Batu Hoda, sebuah pantai di Samosir, hati ini kembali menemukan asanya. Semesta membisikiku sebuah pesan. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya,” katanya lembut. “Ya, termasuk untuk mengungkap rindu,” sahutku dalam batin dibarengi senyum, kemudian aku merengkuh asa.
------------------------------------------
p.s. tulisan ini sudah di-publish di KOVER Magazine eds. 74