Saya tidak pernah merancang menjadi wartawan, tapi di ujung studi saya ingin jadi wartawan. Saya tidak pernah merancang menjadi politisi, tapi ketika ada kesempatan saya jalani. Yang terutama, kita serius dan tekun.
Meutya Hafid - KOVER Magazine issue 68 |
Usai menjadi
pembicara pada sebuah seminar yang diadakan oleh Rumah Berdikari yang terletak
di Jalan Wahid Hasyim No. 54 Medan, sore itu, KOVER Magazine langsung
menghampiri Meutya Hafid. “Hai,” sapanya ramah sambil dibarengi senyum khasnya.
Sambutannya yang bersahabat tak menyisakan ruang kikuk bagi kami untuk memulai
percakapan.
Siapa yang tak
kenal sosok Meutya Hafid? Wanita cantik ini memulai karirnya sebagai seorang
jurnalis di sebuah televisi nasional, yaitu Metro TV sejak awal tahun 2001 dan
akhirnya memutuskan untuk menjadi politisi partai berlambang beringin pada
akhir tahun 2008. Disandera ketika sedang dalam tugas peliputan di Irak pada
Februari 2005, menjadikan nama Meutya menjadi pemberitaan seluruh media massa pada
waktu itu sehingga sosoknya pun kian dikenal.
Meutya memang
tidak sedang berada di Indonesia pada masa transisi orde baru menuju reformasi.
Lulus SMP, Meutya menerima beasiswa dari pemerintah Singapura sehingga ia pun mantap
untuk melanjutkan studi ke negara persemakmuran Inggris sejak 1965 itu. Tak
langsung pulang ke kampung halaman, Meutya lalu memutuskan untuk menekuni
kuliah di jurusan Manufacturing
Engineering University of New South Wales, Australia.
KIPRAH SEBAGAI JURNALIS
Sejak tahun 1997
hingga 2001 tinggal Negeri Kanguru itu tak berarti membutakan mata wanita
berambut pendek ini tentang carut-marut kondisi bangsa ketika itu. Terus
mengikuti perkembangan dari televisi, menimbulkan keprihatinan dalam dirinya.
“Dulu saya hanya bisa melihat situasi kerusuhan ‘98 dari televisi. Sepertinya
ada kerinduan. Ketika terjadi itu, saya harusnya ada di Indonesia. Ingin
seperti teman-teman yang ikut turun ke jalan untuk demonstrasi. Kok waktu itu
peran saya kurang? Saya kebanyakan di luar negeri meski memang bukan dalam
rangka senang-senang, tapi kuliah,” cerita Meutya pada tim KOVER Magazine.
Semilir angin
kembali bertiup manja hari itu. Datangnya beriringan bersama mega yang mulai
kemerahan di ufuk barat. Alam memang tampak sangat bersahabat sore itu. Dia
mengumbar senyum dan dengan senang hati memberi ruang bagi tim KOVER Magazine
bercengkerama asyik bersama Meutya Hafid. “Kalau saya mau dekat dengan
kejadian, dekat dengan peristiwa, saya harus jadi wartawan. Selain ikut demonstrasi
tentunya,” ujar Meutya menyambung cerita tentang awal ketertarikannya terhadap
dunia jurnalistik.
Masih lekat
dalam ingatan Meutya, tahun 2003 adalah waktu pertama kali dia ditugaskan ke
daerah konflik, yaitu Aceh. Saat di mana Megawati yang menjabat sebagai
presiden masa itu mengizinkan operasi militer melawan anggota separatis di
Aceh. Awal Januari 2005, Meutya kembali ditugaskan ke Aceh untuk meliput
bencana tsunami yang menerjang Serambi Mekkah itu dan sekembalinya dari sana,
pada Februari 2005, Meutya dipercaya oleh Metro TV untuk meliput situasi
konflik di Irak. “Enggak menyangka bisa diamanahkan ke Irak, kemudian bisa
menjadi berita besar,” tuturnya.
Berani banting
setir tanpa takut celaka tentu tepat bila disandingkan dengan sosok wanita
bernama lengkap Meutya Viada Hafid ini. Seorang lulusan Teknik Manufaktur yang
akhirnya memilih dunia jurnalistik sebagai ladang kerjanya. Tak mengherankan
jika awalnya orang tua Meutya juga sempat menolak keputusan puterinya tersebut.
Apalagi dulu ada persepsi dalam masyarakat bahwa wartawan itu kerja otot bukan
otak. Lagipula orang tua mana yang tak khawatir bila puterinya berada di daerah
konflik atau bencana?
Perlu waktu dua tahun bagi Meutya untuk meyakinkan kedua orang tuanya, terutama sang ayah tentang pilihannya untuk terjun sebagai seorang jurnalis. “Saya membuktikan bahwa kerja saya serius dan dapat mengukir prestasi di dunia jurnalistik. Saya di jurnalistik bukan hanya ingin main-main tapi ingin serius berkarya di situ. Tahun 2003, mereka sudah bisa terima,” jelasnya.
Soal prestasi,
tak usah diragukan lagi. Beberapa penghargaan berhasil dikantonginya sepanjang
menekuni profesi sebagai jurnalis. Salah satunya adalah Penghargaan Jurnalistik
Elizabeth O'Neill dari pemerintah Australia pada tahun 2007. Selain itu, Meutya
juga dipercaya membawakan program-program unggulan Metro TV, seperti Top Nine News dan Today’s Dialogue yang tentu mendapat prime time. Ini tentu sekaligus sebagai bukti bahwa kerja kerasnya
membuahkan hasil.
Setiap kali
memasuki lingkungan baru, seseorang tentu perlu waktu untuk beradaptasi, termasuk
dalam dunia kerja. Dalam prosesnya, bahkan seringkali muncul rasa tidak nyaman
dan akhirnya membuat seseorang menyerah dan memutuskan untuk berhenti. Bagi
Meutya, hal seperti itu wajar terjadi, tapi bukan berarti buru-buru berhenti.
“Kalau enggak nyaman
dan mau keluar dari tempat kerja itu biasa, tapi kita harus konsisten. Saya
merasa enggak ada kerja yang bisa setahun-dua tahun kita tinggalkan gitu aja.
Kalau mau betul-betul dapat hasil, kalaupun saya mau keluar misalnya, sebagai
jurnalis, paling tidak di atas lima tahun. Kalau dalam lima tahun saya belum
bisa dapat apa-apa, saya belum bisa mengukir prestasi apa-apa, akhirnya harus
ditahan,” ujarnya.
Wanita asal
Bandung ini juga berbagi cerita tentang dirinya yang berasal dari disiplin ilmu
berbeda tentu mesti banyak belajar mengenai seluk-beluk jurnalistik, misalnya
dalam hal wawancara narasumber. “Ketika masuk ke dunia jurnalistik, kan beda
sama kuliah saya. Pasti ada perasaan tidak nyaman. Misalnya, langsung dimarahi
kalau wawancara orang, tapi saya lupa pangkatnya,” ceritanya. Sebagai pekerja
media, Meutya juga harus rela mengorbankan waktunya habis di lapangan walaupun
saat hari libur. “Lebaran tidak bersama keluarga. Jam kerja juga yang tidak
jelas,” imbuhnya.
Meski demikian, Meutya
mengatakan bahwa ia sangat menikmati pekerjaannya ketika itu karena bisa
sekaligus belajar menjadi seorang pekerja. “Kerja tuh pasti kita ngerasa enggak
nyaman, kecuali kita punya perusahaan sendiri dan menjadi bos untuk diri kita
sendiri. Makanya saya menyarankan sekali supaya anak muda belajar entrepreneurship sehingga bisa membangun
sendiri bisnisnya,” tambahnya lagi seraya memberi masukan.
MELIHAT DAERAH KONFLIK
168 jam disandera oleh Jaish Al Mujahideen ketika tengah meliput konflik di Irak bersama
Budiyanto menjadi satu pengalaman yang tak bisa hilang dari ingatan Meutya.
Meski tahu resiko menjadi seorang wartawan yang ditugaskan ke daerah konflik,
yakni disandera, wanita kelahiran 3 Mei 1978 ini tak menyangka sama sekali
kalau hal tersebut lantas menimpa dirinya. “Shock.
Saya menyangka tidak akan bisa selamat lagi. Tidak menyangka bisa kembali lagi
ke tanah air. Waktu itu pikirannya sudah mati aja.”
Kondisi yang menegangkan menjadi makanan Meutya dan rekannya, Budiyanto ketika itu, tepatnya pada bulan Februari 2005. Meliput situasi di daerah konflik tentu nyawa taruhannya. Sebelum diculik dan disandera, Meutya dan Budiyanto sudah sepuluh hari berhadapan dengan kondisi rawan di Irak. “Biasa saat dalam peliputan, ban mobil ditembak. Selama peliputan juga ada aja bom bunuh diri,” paparnya.
Diculik, Meutya
dan Budiyanto lalu dibawa ke sebuah gua kecil di daerah Ramadi untuk disandera
di sana. Senjata laras panjang tak henti ditodongkan ke mereka. Meutya juga
menceritakan, hanya dia satu-satunya perempuan yang berada di antara mereka
ketika itu. “Saya sangat bersyukur bahwa saya tidak disakiti dan tidak
dilecehkan,” ujarnya.
Tak tahu apa
motif pasti Jaish Al Mujahideen
menyandera mereka. Tidak mungkin motif uang karena ketika itu Indonesia baru
saja dilanda bencana tsunami. Motif dendam juga nampaknya tak mungkin karena
Indonesia selalu mendukung kedaulatan Irak dan tak ikut melakukan invasi.
Satu-satunya yang bisa jadi mungkin motif penculikan dan penyanderaan tersebut,
menurut Meutya adalah motif politik. “Pada waktu itu mereka merekam dan
menayangkan di televisi sebagai salah satu bentuk propaganda mereka untuk
mengatakan bahwa mereka ada dan eksis.”
Setelah
dibebaskan, Meutya dan Budiyanto kembali ke tanah air. Tentu perlu waktu bagi
Meutya pribadi untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Banyak dukungan dari
orang-orang terdekat, termasuk dari teman-teman satu profesi menjadi sebentuk
terapi baginya. Apalagi ketika itu, banyak sekali media yang ingin mewawancara
Meutya. Setiap hari menceritakan kejadian yang dialaminya ketika disandera,
ternyata sangat membantu Meutya merasa lebih tenang dan lega. “Jadi saya enggak
ke konselor atau psikiater karena setiap hari saya harus menceritakan sama
teman-teman, sehingga tidak terlalu berat pada beban psikologis,” ujar Meutya
sambil menyeruput minumannya.
Ditanya soal hal
yang paling membuat Meutya tertarik menapak di dunia jurnalistik adalah ketika
ditugaskan ke daerah konflik dan bencana. Menurut Meutya, manusia akan menjadi
apa adanya ketika berada pada masa-masa sukar. “Hal yang mengesankan sebagai
jurnalis, waktu ditugaskan ke Aceh. Saya liputan daerah konflik pertama di
situ. Belajar banyak. Saya lihat orang kejar-kejaran dan tembak-tembakan
pertama kali ya di situ. Menyedihkan, tapi sangat berarti buat saya sebagai
wartawan. Saya tertarik meliput di daerah konflik dan bencana. Saya merasa
orang-orang berada pada level paling jujurnya itu di situ. Ketika dihadapkan
dengan keadaan yang sulit biasanya manusia menjadi manusia yang
sesungguhnya, menjadi lebih tulus dan
apa adanya.”
Dari pengalaman
tersebut, alumnus University of New South Wales ini pun akhirnya memiliki
banyak relasi. “Dari peliputan konflik dan tsunami di Aceh, saya punya banyak
teman yang bertahan hingga sekarang. Salah satu kenikmatan menjadi wartawan
adalah punya banyak teman di berbagai macam profesi dan daerah.”
Meutya juga
menuturkan bahwa pengalaman ketika diamanahkan ke Irak adalah yang sangat
membanggakan dirinya meski tahu bahaya yang tentu menguntit. “Karena masih muda,
jadi excited. Bangga. Karena kita
ditunjuk untuk mengerjakan pekerjaan yang berat dan penuh tantangan. Jadi nggak
terpikir takut.”
TERJUN MENJADI POLITISI
Berkarya di
dunia jurnalistik memang tak selalu manis. Seperti meneguk kopi, terkadang
pahitnya yang lebih dulu mendarat di lidah. Di situlah letak kenikmatannya.
Tidak tawar. Hal itu pulalah yang membuat Meutya yang kini menjelma menjadi
seorang politikus terkadang merindukan masa ketika dia masih berprofesi sebagai
wartawan.
“Saya konsen
betul tentang media. Ketika di media saya menikmati sebagai pelaku. Sekarang
(sebagai politisi-red) saya menikmati karena bisa melihat dari kacamata orang
luar media, tapi yang paham mengenai media. Mudah-mudahan saya bisa membuat
regulasi yang lebih baik bersama teman-teman di DPR,” ujarnya menjelaskan
tentang langkah dan tujuannya ikut serta ambil bagian dalam panggung politik
Indonesia. Menurut politikus partai berlambang beringin ini, adanya rumusan
Undang-Undang yang buruk, bukan karena niatan buruk anggota DPR, tapi karena
kurangnya pemahaman mereka tentang hal-hal yang perlu dituangkan dalam UU
tersebut.
Meutya memilih
partai berlambang pohon beringin sebagai mobil politiknya. Sebagai orang baru
dalam kancah politik, Meutya merasa penting baginya untuk memilih partai yang
sudah benar-benar matang dan berpengalaman.
Muncul sebuah
adagium yang sangat sering didengungkan tentang politik, yaitu bahwa tidak ada
kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi.
Mendengarnya saja sudah ngeri, tapi anggota komisi I DPR RI ini yakin dengan
pilihannya tanpa takut sedikitpun. Menurutnya, bukan hanya di ranah politik
saja hal tersebut bisa terjadi, tapi juga di segala profesi. “Dari dulu prinsip
saya satu. Tak ada yang perlu kita takuti kecuali kita memang salah.”
Meutya Hafid
mulai menceburkan diri ke dalam dunia politik sejak akhir 2008 dan melangkah ke
Senayan pada 2010 menggantikan alm. Burhanudin Napitupulu sebagai anggota DPR
antar waktu dari partainya. Ia menjadi anggota Komisi I untuk periode 2009-2014
dan berhasil lagi duduk di komisi yang sama pada periode 2014-2019. Sebelumnya,
founder Rumah Berdikari ini
berpasangan dengan Dhani Setiawan Isma maju sebagai calon Walikota dan Wakil
Walikota Binjai periode 2010-2015, tetapi kalah suara.
Lahir di
Bandung, kota yang akrab dengan sebutan Paris
van Java, tapi Meutya malah memilih daerah pemilihan Sumatera Utara saat
maju menjadi caleg. Selain karena senang dengan tantangan dan tertarik dengan
Sumatera Utara, Meutya beralasan bahwa ia ingin melawan persepsi bahwa
pengabdian itu harus di tempat di mana kita tumbuh.
“Saya suka
tantangan. Sumut ibarat Indonesia mini karena ada semua etnis, suku, agama, dan
macam-macam. Saya melihat masyarakat Sumut adalah orang-orang yang terbuka.
Mudah bagi saya mewakili orang yang terbuka. Karena kalau orang yang tertutup
susah tahu maunya apa. Saya senang berhubungan dengan masyarakat Sumut karena
sesuai dengan kepribadian saya. Kalau suka bilang suka dan sebaliknya. Kedua,
saya ingin melawan persepsi bahwa pengabdian itu harus didasarkan pada kita
lahir di mana, kita anak siapa, suku, atau agama apa. Seorang muslim tak harus
berbakti pada orang muslim saja,” ujarnya menjelaskan.
Berkunjung ke
Kota Medan seolah sudah menjadi agenda rutin bagi puteri alm.
Anwar Hafid dan Metty Hafid ini. Meski tak ada keluarga yang berdomisili di Medan, Meutya
sudah merasa akrab dengan lingkungan Medan. Meutya juga mengatakan
bahwa awalnya dia sempat terkejut dengan gaya berbicara orang Medan yang
cenderung keras, tapi lambat laun ia pun semakin terbiasa. “Sempat kaget juga
sama suara keras orang Medan. Tapi saya ambil positifnya. Saya lebih baik tahu
apa yang dia tidak suka daripada ngomong di belakang,” imbuhnya pula.
Meutya juga
menuturkan bahwa menjadi politisi bukan profesi yang dia cita-citakan sejak
kecil. Dulu, Meutya kecil pernah bercita-cita menjadi seorang pramugari, tetapi
belum benar-benar tahu apa yang dia inginkan. “Saya hanya tahu waktu itu saya
harus mempelajari Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris,” ujarnya.
“Saya tidak
pernah merancang menjadi wartawan, tapi di ujung studi saya ingin jadi
wartawan. Saya tidak pernah merancang menjadi politisi, tapi ketika ada
kesempatan saya jalani. Yang terutama, kita serius dan tekun,” sambungnya lagi
dengan mimik yang lebih serius. Penyuka durian ini kembali menegaskan bahwa dia
benar-benar serius ketika memilih apapun yang hendak dijalaninya, mulai dari
menjadi seorang jurnalis hingga politisi.
“Lihat sepeka
mungkin kesempatan yang diberi oleh Tuhan. Dia tahu lebih baik tentang
perencanaan kita ke depan. Kita bisa berencana apa pun, merancang menjadi apa,
menabung akan membeli apa, ternyata saya bisa tidur di atas pasir. Saya banyak
belajar ketika di Irak. Kadang-kadang manusia suka menumpuk yang tidak penting,
padahal kita bisa survive tanpa itu.”
Mengalir seperti air adalah prinsip yang masih terus dipegang oleh anggota Komisi I DPR RI ini. Meski terdengar biasa, tapi prinsip ini pulalah yang berhasil membawa Meutya tetap bisa berjalan hingga sejauh ini. Mulai dari kuliah sambil kerja serabutan di department store, membuat burger di restoran cepat saji, bekerja di pabrik majalah, radio, hingga akhirnya sukses menjadi jurnalis dan kini berada dalam kursi strategis di Senayan. “Klise. Tapi memang begitu. Seperti air sungai, ada juga batu-batu yang keras, tapi intinya mengalir aja.”
“Banyak hal yang
saya inginkan terjadi di Indonesia. Indonesia yang lebih nyaman dan manusiawi
untuk semua orang. Ada pemerataan pembangunan dan informasi secara lebih baik,”
katanya seraya menutup obrolan hari itu ketika ditanya tentang impiannya untuk
negeri ini.
No comments:
Post a Comment